re:act (IAI & URDI) Post Tsunami Disaster Response in Dusun Diwai Makam Banda Aceh

re:act (IAI & URDI) Post Tsunami Disaster Response in Dusun Diwai Makam Banda Aceh
"Balle"Gampong Diwai Makam (build by re:act and community)

Selasa, 14 Agustus 2007

Village Planning and Community Assitances in Strengthening Social Value in Dusun Diwai Makam, Lambaro Skep, Banda Aceh


By: re:act[1] (Rebuilding Aceh Community Together)
Contact Person : URDI, Wicaksono Sarosa ( 0811-976144,
wicaksono@urdi.org )
URDI, Hizrah Muchtar (0813-1595 6511,
hizrahmuchtar@yahoo.com )
Re:act, Jony Chandra (0812-6992749,
inijonynih01@yahoo.com, jonychandra@gmail.com)


1. Situasi sebelum inisiatif dimulai
Dusun Diwai Makam yang terletak hanya 2 km dari garis pantai, mengalami kehancuran total akibat tsunami pada tgl 26 Desember 2004. Bencana ini telah meratakan rumah-rumah dengan tanah. Dusun yang semula berpenduduk 567 jwa itu kini tinggal menyisakan 239 jiwa yang selamat
[2], sejumlah 104 rumah[3] tak ada satupun yang tersisa. Hamparan dusun dengan total luas 113.101 m2 itu, kini hanya tinggal onggokan sampah, puing bangunan, dan tambak-tambak yang hancur dan tidak lagi berfungsi. Ditambah lagi dengan keadaan mereka yang tidak memiliki tempat berteduh dan tercerai berai, mata pencaharian yang tidak pasti, dan banyaknya sanak saudara yang hilang dan meninggal dunia.

· Apa masalah yang timbul
Sejarah sosial dan politik dari Gampong Lheu—sebutan warga Diwai Makam terhadap dusunnya—seperti yang sering dituturkan oleh warga, menyiratkan bahwa komunitas di Diwai Makam merupakan kumpulan masyarakat yang terisolasi dari desa induknya yaitu desa Lambaro Skep. Isolasi tersebut kemungkinan diakibatkan oleh keinginan mereka untuk memisahkan diri dari desa induk menjadi satu entitas gampong yang merdeka dan mandiri.

Akibat dari sejarah politik dan sosial di masa lalu tersebut, banyak bantuan pasca tsunami yang tidak sampai kepada warga Diwai Makam (karena pada dasarnya bantuan pasca tsunami dipusatkan pada desa induk (Lambaro Skep)). Beberapa contoh dari “isolasi sosial dan bantuan” adalah: (i) Tidak adanya bantuan tenda bagi warga Lheu untuk dapat kembali pulang ke gampongya yang luluh lantak akibat tsunami; (ii) Tidak adanya barak-barak hunian yang dibangun di lokasi Gampong yang menyebabkan masyarakat yang tercerai berai (lokasi barak dan tempat pengungsian saling berjauhan bahkan berbeda kabupaten) (iii) Bantuan Jadup (Jatah Hidup) yang tidak merata, dan juga tidak meratanya bantuan langsung kebutuhan sehari-hari seperti beras, mie instant, minyak goreng, dll; dan (iv) bantuan lain yang tidak sampai ke Diwai Makam, dikarenakan adanya anggapan bahwa tidak ada warga yang hidup di sana setelah tsunami (contohnya bantuan pembuatan sumur bor).

· Bagaimana masalah tersebut diatasi?
o Pendekatan yang intensif dan tulus kepada warga à tinggal/berkantor di daerah setempat, dan membuka akses sebebasnya di mana warga bisa menemui tim re:act kapanpun dibutuhkan; Hal ini sekaligus mampu membangun kepercayaan warga sebagai modal dasar program pendampingan;
o Mengajak warga turut terlibat aktif dalam perencanaan di setiap tingkat, pengambilan keputusan serta bertanggungjawab terhadap keputusan yang diambil, serta melaksanakan dan mengelola pembangunan;
o Menjadi mediator antara warga dengan aparat desa dan lembaga-lembaga pemberi bantuan (donor ataupun NGO), maupun pemilik tanah;
o Mengupayakan adanya bangunan di lokasi yang bisa dipakai untuk berkumpul dan bermusyawarahà balee warga yang pembangunannya murni gotongroyong tanpa upah; mencarikan donor/NGO yang bersedia membangunkan barak/tempat penampungan sementara dengan tujuan mengumpulkan komunitas yang tercerai berai.
o Mengupayakan agar semua warga yang tercerai-berai mengetahui perkembangan gampong mereka melalui community outreach ke berbagai barak (Lambaro Skep di Banda Aceh, Blang Bintang dan Jantho di Aceh Besar);
o Memberikan informasi dan kesempatan diskusi (pertemuan warga) secara rutin dengan mengambil keputusan berdasarkan duek pakat warga.;
o Menyampaikan dan memberitahukan secara terbuka kepada masyarakat tentang status keuangan lembaga –menganut sistem terbuka dan transparansi-

· Bagaimana keadaan ekonomi, lingkungan dan tingkat sosial dari lokasi tersebut?
Ekonomi
Sebelum Tsunami:
Mata pencaharian warga beragam, kebanyakan bekerja sebagai penyedia jasa seperti buruh bangunan, buruh tambak, tukang becak, juru masak, dll (± 40%), wirausaha kecil-kecilan (25 %), sisanya 20% bekerja sebagai PNS atau swasta dan pekerjaan-pekerjaan lain. Kira-kira 15% dari sisanya adalah pengangguran.
Sebelum Tsunami :
mata pencaharian warga menjadi tidak pasti, beberapa mencari penghasilan sementara dengan menarik becak, menjadi buruh bangunan, tukan cuci, dll. Sebagian lagi menggantungkan hidup pada program ’cash for work’ berbagai NGO dan Jatah Hidup.

Sosial
o Tingkat pendidikan warga dusun Diwai Makam secara umum cukup rendah. Kebanyakan warga hanya berpendidikan setingkat Sekolah Dasar (bahkan yang tidak tamat hampir 90 %), hanya sekelompok orang saja yang dapat mengenyam pendidikan menengah dan tinggi (sekitar 10%).
o Tidak adanya pemimpin lokal yang dapat menjembatani dan menyuarakan kepentingan warganya dengan Desa, dikarenakan beberapa dari mereka meninggal akibat tsunami (contohnya Imam Meunasah dan Teuku). Hal ini menyebabkan tidak adanya sosok pemimpin yang dapat menyatukan mereka. Selain itu, keadaan pasca tsunami tanpa pemimpin ini seperti dibiarkan terus oleh Kepala Desa Lambaro Skep untuk berbagai kepentingan.
o Karakter masyarakat yang keras dengan tingkat pendidikan yang rendah serta terkotak-kotaknya masyarakat menjadi beberapa kelompok warga ( di antaranya adalah: (i) kelompok orang lama dan memilik tanah, (ii) kelompok orang lama tetapi tidak memiliki tanah, (iii) kelompok pendatang yang memiliki tanah, dan (iv) kelompok pendatang yang tidak memiliki tanah) sehingga menyebabkan konflik kepentingan yang cukup tinggi antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.

Lingkungan
Sebelum tsunami
o Pemukiman Diwai Makam merupakan pemukiman yang terletak di wilayah yang relatif datar dan dikelilingi oleh tambak-tambak. Secara geografis, letaknya terpisah dengan pemukiman lain di desa Induk Lambaro Skep;
o Air bersih kebanyakan berasal dari sumber PDAM dan beberapa mengandalkan sumur dangkal;
o Tidak adanya sistem sanitasi yang memadai;
o Tata letak bangunan tidak beraturan, demikian pula dengan bentuk kapling.

Setelah tsunami:
o Tidak ada satu bangunan pun yang masih berdiri;
o Hilangnya patok-patok pembatas antar kapling;
o Rusaknya tambak-tambak milik warga;
o Daerah gampong tergenang, akibat hancurnya tanggul pantai dan tanggul tambak-tambak. Ketinggian saat pasang purnama tingginya bisa mencapai selutut orang dewasa (± 60 cm);
o Rusaknya sumber air bersih (pipa PDAM yang hancur dan sumur dangkal yang terkontaminasi);
o Rusaknya infrasturktur lain seperti jalan, drainase, dan jaringan listrik;


2. Apa motivasi untuk mengembangkan suatu inisiatif?
Organisasi re:act berdiri atas dasar kesamaan rasa keprihatinan beberapa elemen civil society termasuk individu-individu, atas bencana tsunami yang terjadi di Aceh. Keprihatinan ini ditindaklanjuti dengan penggalangan dana dan perumusan program bantuan rekonstruksi yang didasari semangat kerjasama (collaboration) dan kesukarelaan (volunteerism). Inisiasi awal re:act kemudian dipimpin oleh dua organisasi yaitu Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Nasional dan Urban and Regional Development Institute (URDI).

· Bagaimana keterlibatan para pelaku?
Organisasi re:act
Secara garis besar terdiri atas dua bagian, yaitu
(1) Tim Inti yang berpusat dan beroperasi di Jakarta, dan bertugas untuk menggalang dana, merumuskan konsep awal, mengurus persiapan pelaksanaan program (administrasi dan keuangan), mencarikan solusi masalah yang tidak bisa diatasi di tingkat lapangan, serta negosiasi kepada berbagai pihak terkait, temasuk lembaga donor dan pemerintah daerah. Semua pekerjaan dilakukan secara sukarela tanpa bayaran. Tim inti bermarkas di Jakarta.
(2) Tim Lapangan bertindak sebagai eksekutor program di lapangan (Aceh), yang mengejawantahkan konsep program menjadi kegiatan nyata di lapangan. Tim lapangan berfungsi sebagai pendamping warga dan mediator yang menghubungkan antara kebutuhan warga dengan sumber daya donor atau lembaga;

warga:
Warga Lheu adalah pelaku utama dalam program rekonstruksi ini. Mereka terlibat dalam sebagian besar tahap perencanaan dan implementasi. Keputusan dari hasil rapat warga merupakan keputusan tertinggi dalam pengambilan keputusan. React hanya memfasilitasi mereka untuk turut terlibat aktif dalam membangun kembali gampong mereka.

lembaga lain
Prinsip dan semangat kerjasama dijunjung tinggi dalam program ini sehingga keterlibatan lembaga lain juga menjadi penting. Lembaga yang terkait langsung (contohnya World Vision Indonesia sebagai penyandang dana utama, CITYNET sebagai donor pembangunan rumah contoh, International Federation Red Cross sebagai donor pembangunan tanggul lapis kedua, dll), dan yang tidak terkait langsung (contohnya Oxfam: penyedia air, P2KP fasilitator lembaga desa KERAP, KODIM membantu merenovasi balee, dll) selalu diusahakan untuk terlibat dan diundang, terutama dalam rapat-rapat warga. Minimal mereka mendapatkan informasi mengenai perkembangan program, baik melalui laporan maupun secara informal.
Prinsipnya re:act membuka peluang sebesar-besarnya bagi lembaga lain yang berminat untuk terlibat dan bekerjasama, sehingga tidak dibenarkan adanya satu-dua lembaga yang mendominasi dan ‘mengklaim’ Diwai Makam sebagai wilayah kekuasaan mereka.

Pemerintah Daerah
sebelum inisiasi dimulai, re:act telah bertemu langsung dengan Walikota Banda Aceh dan Kepala Dinas Tata Kota saat itu untuk menyampaikan program yang akan dilaksanakan di Diwai Makam. React juga melakukan kordinasi dengan Kecamatan (Kuta Alam) dan Desa (Lambaro Skep), dan intensif mengundang mereka setiap ada pertemuan besar warga.
Pemerintah desa memegang peranan penting dalam proses rekonstruksi ini. Keterlibatan geuchik di antaranya adalah: turut memantau program dan keterlibatan warga; memverifikasi ulang ataupun revisi data (penerima manfaat dan kepemilikan lahan) yang telah dilakukan oleh warga didampingi re:act; memberi berbagai macam surat keterangan atau izin yang dibutuhkan warga dan re:act di sepanjang proses program.

re:act juga melakukan kordinasi melalui concept notes (yang diserahkan kepada) dan terus menjaga hubungan baik dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias.

· Bagaimana menentukan prioritas utama dalam inisiatif tersebut dan upaya penyempurnaannya?
Priotitas utamaà berdasarkan kebutuhan prioritas yang diusulkan dan disetujui warga melalui serangkaian rembug warga. Penyempurnaannya tetap melalui serangkaian rembug warga lainnya dengan legitimasi keputusan bersama “duek pakat” antara seluruh warga dan pihak-pihak yang terkait dalam proses ini.
Contohnya: dari hasil rembug warga awal didapati bahwa kebutuhan mendesak bagi mereka adalah rumah. Namun setelah beberapa kali rembug warga lanjutan, warga sepakat untuk terlebih dahulu membangun tanggul (mencegah air laut masuk dan tidak menghalangi proses konstruksi nantinya) serta barak-barak hunian (untuk menampung warga Lheu yang tercerai berai dapat kembali berkumpul di lokasi awal dan membangun gampong mereka), dan membuat Tata Gampong (Village Plan) sebelum proses konstruksi rumah berlangsung.

3. Inovasi apa yang telah dilakukan?
· Tindakan apa saja yang telah dilakukan?
o Community action planning untuk skala prioritas program dan kegiatan yang dibutuhkan, dan perencanaan awal tata gampong (Village Plan) menurut warga;
o Community design workshops untuk membicarakan, merancang dan memilih disain yang sesuai dengan kondisi dan pilihan masyarakat;
o Community outreach berupa kunjungan (road show) ke barak-barak lokasi pengungsian yang tersebar di berbagai tempat
o Studi banding ke lokasi-lokasi lain di mana rumah sudah/sedang dibangun oleh lembaga lain, dengan tujuan untuk memperluas wawasan masyarakat mengenai disain rumah yang akan mereka pilih;
o Pembangunan Balee/Meunasah sebagai community centre yang berfungsi simpul informasi untuk program dan kegiatan yang direncanakan;
o Pembangunan 3 unit barak untuk mengumpulkan masyarakat yang tercerai berai dengan tujuan mempermudah proses pelibatan warga dalam penguatan modal sosial masyarakat;
o Pembangunan 2 unit rumah contoh (dengan disain yang dipilih oleh warga) yang kemudian hari digunakan sebagai Bale Pengajian dan fungsi publik lainnya;
o Pembentukan kelompok-kelompok masyarakat pembangunan perumahan berdasarkan kedekatan lokasi rumah (cluster), di mana mereka memilih ketua kelompok masing-masing;
o Penentuan prioritas dan penyeleksian penerima bantuan rumah yang dilakukan oleh warga berdasarkan kriteria yang ditetapkan bersama-sama dan disesuaikan dengan peraturan yang ada; penyeleksian dilakukan dilakukan berulang kali sampai dicapai kesepakatan bersama dan disyahkan melalui duek pakat gampong.
o Community mapping untuk mendapatkan letak kapling dan peta gampong sekaligus mendata kepemilikan kapling dan tambak, di mana kelompok-kelompok warga melakukan pengukuran, pemindahan gambar ke peta dan revisi kepemilikan;
o Pemetaan dan pengukuran jalur tanggul bersama masyarakat;
o Pembangunan tanggul lapis kedua (tanggul tambak) untuk mengurangi masuknya air laut ke gampong saat pasang;
o Putar film (film perjuangan, dokumenter tsunami, dan film science-religius) di barak pengungsian yang bertujuan untuk memberikan hiburan sekaligus memberikan informasi mengenai adanya kegiatan pendampingan re:act di Diwai Makam pada akhir acara. Selain itu, tujuan yang ingin dicapai dalam pemutaran film ini adalah untuk menambah keakrabab dan rasa kekeluargaan diantara sesama warga, dan antara warga dengan re:act.

· Bagaimana proses pemilihan kegiatan tersebut?
Proses pemilihan didasari pada kebutuhan nyata masyarakat gampong terhadap kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi melalui serangkaian musyawarah/rembug warga gampong. Rembug warga ini menjadi tempat bagi warga untuk memilih prioritas kegiatan, meformulaksikannya sehingga menjadi serangkaian program dan kegiatan nyata.

· Dukungan politis dan sumber daya yang dimanfaatkan
Beberapa dukungan politis didapat dari kunjungan formal dan informal intensif re:act kepada pejabat Walikota saat itu dan Kepala Dinas Tata Kota. Dari hasil kunjungan tersebut, re:act mendapatkan ‘legitimasi’ untuk memulai pendampingan serta memudahkan persetujuan dari jajaran pemerintah di bawahnya (Pemerintah Kecamatan dan Muspika Kecamatan, sampai dengan geuchik sebagai pemimpin dari Desa Lambaro Skep). Hal ini terbukti dengan hadirnya kepala Dinas Tata Kota-- yang mewakili Walikota Banda Aceh-- pada saat acara Duek Pakat warga Diwai Makam. Melalui program pembangunan tanggul, re:act juga menjalin kerjasama dengan Dinas Kimpraswil, Pekerjaan Umum Tata Air.

Karena program ini merupakan inisiasi dan kolaborasi bersama dari banyak pihak yang dilandasi semangat voluntierisme/kerelawanan yang tinggi dan non-profit oriented, maka dukungan dan pemanfaatan sumber daya yang ada sangat bermanfaat dalam membantu berjalannya berbagai program kegiatan. Berbagai sumber daya tersebut di antaranya :lembaga-lembaga dan individu-individu anggota re:act (URDI, IAI) dan jaringannya, lembaga lain terkait, pihak universitas dan lembaga asosiasi profesi lokal, para profesional, warga Diwai Makam, dll.

· Siapa yang memegang kendali dalam merumuskan tujuan inovasi?
Tujuan inovasi awal lembaga/program re:act secara umum dan menyeluruh dirumuskan oleh para pendiri re:act (beberapa diantaranya adalah anggota Tim Inti), namun dalam pelaksanaannya, usulan inovasi pun acap kali datang dari Tim Lapangan berdasarkan situasi dan kondisi, peluang dan masalah yang dihadapi di lapangan. Usulan inovasi tersebut selalu didiskusikan bersama antara Tim Inti dengan Tim Lapangan

· Siapa yang menentukan posisi pimpinan dalam menerapkan pelaksanaan inisiatif?
Posisi pimpinan re:act ditentukan melalui diskusi dan kesepakatan penggagas re:act, yaitu yang berasal dari kedua organisasi yang memimpin (IAI Nasional dan URDI). Kordinator tim lapangan juga dipilih melalui musyawarah bersama.

· Masalah apa saja yang dihadapi dalam pelaksaan inisiatif?
o Kompleksitas permasalahan dalam rekonstruksi Aceh secara umum (misalnya hubungan antar lembaga, donor, pemerintah lokal, BRR, dan pelaku pembangunan yang lain);
o Kompleksitas sosial-politik masyarakat Diwai Makam;
o Seringnya pergantian kepemimpinan dan staf dari Donor utama, yang menyebabkan program pembangunan menjadi tertunda sekian lama;
o Minimnya dukungan dana untuk program pendampingan (kebanyakan donor lebih tertarik untuk membiayai komponen fisik) walaupun hal ini bukan menjadi kendala utama;

· Bagaimana masalah-masalah tersebut diatasi?
o Membangun komunikasi yang baik dan intensif dengan pihak lain terkait rekonstruksi di Aceh;
o Membagun komunikasi yang intensif dengan warga, dan selalu melibatkan mereka dalam setiap pengambilan keputusan yang berdampak kepada mereka;
o Memberikan laporan perkembangan program secara rutin—baik formal maupun informal—kepada para donor;
o Membangun jaringan dan dukungan lewat berbagai media, contohnya milis, web-sites, dll.

· Sejauh apa inovasi tersebut membantu pemda?
o Sebagaimana umumnya program bantuan di lokasi bencana, maka setiap program yang terlaksana tentunya secara otomatis membantu pemerintah lokal—yang saat itu juga lumpuh akibat tsunami—dalam pemulihan kondisi fisik dan non fisik daerah bersangkutan;
o Tata Gampong (Village Plan) yang tercipta atas program pendampingan, membantu Pemda terkait (utamanya Desa, Kecamatan, Dinas Tata Kota) dalam memberikan keteraturan peletakan rumah sesuai kaidah kenyamanan dan keindahan lingkungan desa. Program ini juga membantu dalam menyediakan peta dusun yang akurat dan berbasis masyarakat yang dapat digunakan oleh aparat pemda terkait sesuai kebutuhan di masa yang akan datang.
o Pendampingan intensif warga, membantu mereka untuk menemukan local champion untuk mengisi posisi kepala dusun (yang sejak tsunami kosong);

4. Perkiraan/penilaian terhadap hasil yang telah dicapai
· Realisasi dari sasaran kegiatan yang dilaksanakan
Secara prinsip sasaran kegiatan–yaitu penguatan modal sosial masyarakat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Gampong Lheu Diwai Makam– terealisasi dengan cukup baik. Ini bisa dilihat dari kemampuan masyarakat yang semakin meningkat seiring waktu, dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi kegiatan yang disepakati bersama-sama. Masyarakat setelah pendampingan mampu memposisikan diri mereka bukan hanya sebagai objek dalam proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi, tetapi justru sebagai pelaku utama yang dapat berdiri sejajar dengan para pendamping (re:act).. Mereka bahkan mampu bernegosiasi dengan berbagai lembaga donor yang memberikan dana-nya untuk proses rehabilitasi dan rekonstruksi gampong mereka.

· Bagaimana hasilnya diukur? Secara kuantitatif? Atau secara kualitatif? Apakah indikator digunakan dalam mengukur suatu dampak? Indikator yang mana? Bagaimana?
o Sebagaimana umumnya program pendampingan dengan tujuan penguatan modal sosial, maka kebanyakan hasil dari program ini diukur secara kualitatif;
o Indikator yang digunakan dipantau dalam jangka waktu yang panjang, terhitung dari awal program ini (April 2005) sampai akhir pendampingan (Maret 2006), dan diteruskan hingga saat ini.
o Indikator tersebut dapat dilihat dari semakin meningkatnya keterlibatan warga dalam menentukan nasib mereka, dari waktu ke waktu.
o Beberapa contohnya adalah sebagai berikut:
(i) saat awal program pendampingan ini, re:act selalu berada di sisi warga dalam setiap kegiatan, namun sejak Maret 2006 intensitas keterlibatan re:act sudah sangat minim seiring dengan berakhirnya program di Diwai Makam;
(ii) saat awal pendampingan warga harus dibujuk dan diundang berkali-kali untuk mengikuti sebuah rapat atau pertemuan, namun saat ini warga sudah mampu membuat pertemuan sendiri berdasarkan kebutuhan dan masalah yang mereka hadapi;
(iii) saat awal pendampingan re:act-lah yang berperan sebagai mediator dan negosiator dengan lembaga pemberi bantuan atau donor lain, namun saat ini warga sudah mampu untuk bernegosiasi dengan pihak lain dalam mencapai tujuan bersama atau dalam mencari bantuan lain yang dibutuhkan oleh dusun mereka;

· Apakah kordinasi dan integrasi yang lebih baik dapat dicapai?
Kordinasi dan integrasi dengan pihak lain maupun lembaga lokal/daerah (dusun/desa) lain yang berdampingan secara fisik telah dilakukan oleh re:act semasa program pendampingan. Dengan berbagai ‘peninggalan’ re:act (jaringan antar lembaga yang telah dibangun, tokoh kunci berbagai departemen pemerintah, BRR, maupun NGOs yang dapat dihubungi) harusnya dapat dilanjutkan baik oleh warga, maupun desa/kecamatan terkait. Namun keberhasilan kordinasi ataupun integrasi tentunya tergantung pada mereka yang masih tinggal di lokasi setelah proses rekonstruksi selesai.

· Dampak apa yang telah ditimbulkan oleh praktek terbaik tersebut terhadap kebijakan lokal/strategi lokal/nasional? terhadap kapasitas lembaga ditingkat nasional, wilayah dan daerah? terhadap pembuat keputusan ditingkat lokal atau nasional termasuk pelembagaan kemitraan terhadap penggunaan dan alokasi sumber daya manusia, teknis dan keuangan ditingkat lokal/nasional? terhadap sikap dan perilaku masyarakat?
Dampak langsung kegiatan ini sebenarnya cakupannya sangat terbatas, yaitu utamanya dalam skala komunitas satu dusun. Contohnya, Community Village Plan yang telah disepakati telah menjadi semacam acuan atau panduan bagi warga untuk pembangunan pemukiman dan lingkungan di saat maupun paska rekonstruksi.
Village Plan tersebut juga telah diserahkan kepada pihak Desa (Lambaro Skep), Kecamatan (Kuta Alam) dan Dinas Tata Ruang Tata Kota, Banda Aceh, BRR, dengan harapan agar perencanaan dusun ini bisa terintegrasi dengan perencanaan lainnya (di semua tingkatan).

5. Keberlanjutan
· Bagaimana meningkatkan sumber daya tersebut?

Melalui komunikasi yang baik, alokasi dana yang optimal, serta menjunjung azas transparansi dan akuntabilitas, pemanfaatan berbagai sumber daya yang potensial secara optimal (contohnya, bila memungkinkan menerapkan pronsip kesukarelawananà keahlian/profesi) sehingga dana kemanusiaan yang ada dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat.
· Bagaimana cara agar biaya dari inisiatif yang dilakukan dapat kembali?
Dalam program ini, dana yang dikumpulkan baik melalui berbagai program fund raising maupun dari lembaga donor, adalah dana kemanusiaan yang penggunaannya memang untuk kepentingan masyarakat semaksimal mungkin, sehingga tidak ada konsep ‘balik modal’;

· Bagaimana mengatasi ketergantungan terhadap sumber daya external?
Ketergantungan akan dana eksternal
Dalam awal proses rekonstruksi di gampong, ketergantungan akan dana bantuan dari luar sangat tinggi (menutupi biaya konstruksi massal yang juga sangat tinggi). Namun seiring berakhirnya program, diharapkan warga akan mampu untuk mandiri setidaknya dalam pengembangan rumah dan lingkungan mereka masing-masing di kemudian hari.
Salah satu solusinya adalah pemanfaatan Alokasi Dana Desa (ADD) yang diamanatkan oleh PP No.72 Thn. 2005, di mana masyarakat dapat memanfaatkan alokasi dana tersebut untuk dapat melanjutkan pembangunan di gampong secara mandiri

Ketergantungan warga akan pendampingan eksternal
Program harus menjadi bagian dari komunitas, artinya mereka menganggap program ini adalah program milik mereka, yang perlu diteruskan dan dikembangkan di kemudian hari walaupun tanpa pendampingan

· Adakah jangka waktu yang ditentukan untuk mencapai kemandirian?
Setidaknya setelah proses pendampingan selesai (lama waktunya bervariasi, tergantung muatan program, kesiapan warga, dll), diharapkan warga dapat melanjutkan program kegiatan yang sudah mereka buat, secara lebih mandiri.

· Bagaimana keberlanjutan di bidang sosial, ekonomi, lingkungan dan budaya dapat dicapai?
Keberlanjutan (sosial, ekonomi, lingkungan,dan budaya) yang diharapkan dapat tercapai, harus menjadi bagian dari target sebelum program dimulai. Dengan demikian setiap bagian dari kegiatan selama program pendampingan selalu bertujuan untuk mencapai keberlanjutan melalui pelibatan warga yang intensif. Warga harus menjadi pelaku utama yang aktif.

6. Pelajaran yang dapat diambil
· Apa yang dapat dipelajari dari inisiatif tersebut?
o Kesiapan inisiator pada saat pra-program sangat penting, terutama dalam penyiapan struktur organisasi dan pengambilan keputusan, penyiapan sistem pendukung (legalitas, administrasi, finansial, dll) dan pemilihan anggota tim lapangan (pendamping warga) yang berkualitas dan juga program team building;
o Pentingnya pendampingan warga secara intensif (yang kadang diabaikan oleh inisiatif lain);
o Pentingnya pelibatan warga di setiap tahapan program. Hal ini selain untuk menumbuhkan rasa kepemilikan (sense of belonging) warga, juga akan menciptakan kemandirian dan keberlanjutan program ini di kemudian hari;
o Keterbukaan terhadap program yang akan dilakukan kepada warga (terutama dari sisi kemampuan finansial untuk pembangunan);
o Pentingnya mendapat dukungan dari pemerintah daerah setempat (semua tingkat bila memungkinkan);
o Mengembangkan jaringan, komunikasi, dan kolaborasi dengan berbagai pihak/lembaga terkait.

· Bagaimana hikmah tersebut dapat diterapkan dalam sistem agar keberlanjutan dari kegiatan/inisiatif dapat berlangsung?
o Utamanya, program seperti ini dapat menjadi bagian dari komunitas, artinya mereka menganggap program ini adalah program milik mereka, yang perlu diteruskan dan dikembangkan di kemudian hari walaupun tanpa pendampingan;
o Bila memungkinkan, sistem pendampingan di tingkat dusun (yang ’bottom-up’) dapat pula dilaksanakan di dusun-dusun lainnya dalam satu sistem yang terintegrasi di bawah administrasi Desa, Kecamatan dan Kota (yang ’top-down’).


7. Kemampuan mentransfer
· Apa yang dapat dipelajari orang lain dari inisiatif tersebut
o Semangat kerjasama/kolaborasi (di mana tak ada satupun lembaga boleh ’mengklaim’ lokasi pendampingan ataupun menjadi lembaga pemberi bantuan tunggal di lokasi penerima bantuan) dan kesukarelawanan yang dijunjung tinggi (bukan semata mengharapkan gaji tinggi dan kemewahan fasilitas seperti layaknya program bantuan di Aceh);
o Menempatkan pendamping warga yang kompeten dan mempunyai bidang keahlian yang dibutuhkan sesuai dengan program;

· Apakah inisiatif tersebut telah di replikasi/diadaptasi ditempat lain? dimana? oleh siapa?
o Di Desa Deyah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh yang juga didampingi oleh re:act;
o Walaupun tidak secara eksplisit, adanya kemungkinan bahwa pola pendampingan re:act juga menjadi inspirasi dan diadaptasi oleh lembaga lain yang pernah ikut dalam pertemuan-pertemuan awal re:act dengan warga di masa awal program (April-Juli 2005);

· Potensi apa yang didapat dari kemampuan untuk mentransfer seluruh atau sebagian dari inisiatif tersebut?
Potensi secara umum adalah mereplikasi pola program ini untuk kawasan yang terkena bencana dan membutuhkan rekonstruksi fisik di lokasi manapun, dengan bertumpu pada kemandirian dan sumber daya lokal.
Secara khusus, yang dapat dikembangkan dari program ini adalah:
o Replikasi pada dusun-dusun atau desa yang berdekatan dengan lokasi dampingan re:act (Diwai Makam);
o Menindaklanjuti program pembangunan fisik dengan insentif program ekonomi lokal ataupun livelihood;
o ‘Up-scaling’ program ini pada kawasan (administrasi) yang lebih luas, sehingga tercipta keserasian/keselarasan program rekonstruksi secara menyeluruh;
o Menjadikan pola pendampingan ini sebagai bahan peraturan formal pemerintah, misalkan untuk pembuatan perencanaan tahunan gampong dalam rangka pelaksanaan kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) yang sesuai dengan PP No.72 Thn. 2005;





[1] Rebuilding Aceh Community Together (re:act) adalah program kolaborasi elemen-elemen civil societ yang bertujuan untuk membantu masyarakat Aceh korban tsunami dalam membangun kampong mereka melalui serangkaian program penguatan modal social. Kolaborasi ini dipimpin oleh Urban and Regional Development Institute (URDI) dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Nasional.
[2] Data didapat dari Posko Bencana Desa Lambaro Skep, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.
[3] Jumlah ini adalah hasil identifikasi warga dan re:act terhadap eksisting tapak rumah yang hancur.